|*V.O.D*|~Brother'z~RN*

Minggu, 29 Januari 2012

tugas makalah sejarah pki, masa orde baru, era revormasi

BAB I. PERISTIWA G 30 S/ PKI 1965
1.      Latar belakang
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
2.      PERISTIWA G 30 S/PKI 1965
ada 30 September malam dan menjelang dinihari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat ke belakang, dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan.
Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni (Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir (kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.
Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu Lubang Buaya.
Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00 pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya, carabine jungle yang sudah patah kayunya.
Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI. Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di sini saya tertidur sampai pagi.
Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt. Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.
Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sorehari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.

3.      PENUMPASAN G 30 S/ PKI 1965
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
BAB II. MASA ORDE BARU
1.       Latar belakang lahirnya Orde Baru :
Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
 Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.

 Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.

2.      PERISTIWA AKSI MAHA SISWA
Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)
 Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah sebagai berikut.
 a. Pembubaran PKI.
 b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S / PKI.
 c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
 Ketiga tuntutan di atas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI beserta ormasormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G30 S /PKI. Selain itu juga keinginan adanya perubahan ekonomi yakni penurunan harga.

3.      ISI DAN SUSUNAN LENGKAP SUPERSEMAR YANG BEREDAR DI INTERNET ITU.
Presiden Republik Indonesia
SURAT PERINTAH
I. Mengingat :
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini , serta keadaan politik Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.

II. Menimbang :
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI, dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta adjaran-adjarannja.

III. Memutuskan/Memerintahkan :
Kepada : LETNAN DJENDRAL SUHARTO MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk : Atas Nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi :
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan, serta kestabilan djalannja pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966.
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMBIN BESAR
REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.

(Tandatangan Soekarno, red)
Sukarno
(nwk/ape)


Pemilu, pemerintahah, dan masalah ekonomi serta sosial-budaya
Pemerintah Orde Baru berkehendak menyusun sistem ketatanegaraan berdasarkan asas demokrasi Pancasila. Salah satu wujud demokrasi Pancasila adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Melalui pemilu, rakyat diharapkan dapat merasakan hak demokrasinya, yaitu memilih atau dipilih sebagai wakil-wakil yang dipercaya untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang terpilih nantinya harus membawa suara hati nurani rakyat pada lembaga itu.
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia didasarkan kepada asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia.
a. Langsung maksudnya rakyat mempunyai hak secara langsung memberikan suaranyatanpa perantaraan orang lain.
b. Umum mempunyai arti semua warganegara yang memenuhi persyaratan berhak ikutserta memilih dalam pemilihan umum.
c. Bebas berarti setiap pemilih dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihanterhadap salah satu peserta pemilu tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapa pun atau dengan cara apa pun.
d. Rahasia bermakna para pemilih dijamin kerahasiaannya dalam menyalurkan pilihannya pada salah satu peserta pemilu.
Pada awal Orde Baru, pemilihan umum direncanakan akan diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968. Hal ini berdasarkan pada Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/ 1966 tentang Pemilihan Umum yang dihasilkan Sidang Umum IV MPRS tahun 1966. Namun, pemilu kemudian tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena sulitnya menyelesaikan pembahasan mengenai undang-undang pemilu.
Pada tanggal 10 November 1969 DPR-GR menyetujui dua RUU Pemilu dan disahkan Presiden RI tanggal 17 Desember 1969, yaitu
a. Undang-undang No. 15Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Daerah, dan
b. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Dengan berlandaskan kepada kedua undang-undang tersebut, pemerintah Orde Baru mgnyelenggarakan pemilihan umum yang pertama kali pada 3 Juli 1971. Pemilu tahun 1971 diikuti 10 kontestan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pemilu pertama pada masa Orde Baru ini menghasilkan perolehan kursi DPR, yakni Golkar 236, NU 58, Parmusi 24, PNI 20, PSII 10, Partai Kristen Indonesia 7, Partai Katolik 3, Perti 2, Partai Murba dan IPKI tidak memperoleh kursi.
Pemilu kedua diselenggarakan pada 2 Mei 1977. Pada pemilu tahun 1977 terjadi penyederhanaan kontestan, yaitu diikuti tiga peserta saja.
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari NU, PSII, Parmusi,dan Perti.
b. Golongan Karya (Golkar).
c. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mempakan fusi dari PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan IPKI.
Pemilihan umum di masa pemerintahan Orde Baru dari waktu ke waktu, pada satu sisi memang membawa negara kepada suatu kehidupan yang lebih baik dari pada kondisi sebelumnya. Adapun kemajuan yang telah dicapai pemerintahan Orde Baru sebagai hasil pelaksanaan pembangunan sejak tahun 1969 - 1997 antara lain adalah
a. naiknya produksi dan jasa di segala bidang,
b. naiknya pendapatan dan kemakmuran sebagian rakyat Indonesia,
c. meningkatnya kemampuan negara dalam menghimpun dana, baik dari dalam maupun dari luar negeri, seperti pajak, cukai, ekspor migas dan non-migas, serta
d. semakin bertambahnya sarana-sarana pendidikan, kesehatan, olahraga, ibadah, ekonomi, perumahan, dan Iain-lain.
Bahkan atas beberapa keberhasilan menjalankan pembangunan di Indonesia, MPR kemudian memberikan predikat kepada Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Namun, menjelang pertengahan tahun 1997 kemajuan di berbagai bidang itu seperti tidak bermakna apa-apa. Bangsa Indonesia dilanda krisis teramat berat yang bermula dari krisis moneter, berupa turunnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar. Krisis moneter ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi sehingga mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Tatanan ekonomi, rusak berat, pengangguran meluas, dan kemiskinan merajalela. Dampak krisis ini berbuntut pada timbulnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah gerakan reformasi yang berawal dari rasa keprihatinan moral yang sangat mendalam atas berbagai krisis yang terjadi di Indonesia. Gerakan reformasi ini dipelopori oleh kalangan mahasiswa dan kaum cendekiawan. Mereka mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat yang bersimpati terhadap reformasi. Figur yang dianggap banyak mempengaruhi bergulirnya roda reformasi ialah Prof. Dr. Amien Rais M.A. la dengan berani memaparkan berbagai kelemahan dan penyelewengan elit birokrasi Orde Baru dan segelintir manusia yang memonopoli sumber daya alam dan sektor ekonomi Indonesia. la juga berhasil menyadarkan masyarakat akan pentingnya suksesi (pergantian kekuasaan) terhadap pemerintahan Soeharto yang telah bercokol selama 32 tahun.
Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tak ditemukan titik terang penyelesaiannya. Akibatnya, aksi mahasiswa pun menjadi semakin marak yang menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Bentrokan dengan aparat tidak terhindarkan lagi sehingga muncul Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12Mei 1998. Tragedi Trisakti menimbulkan luapan kemarahan masyarakat. tidak terbendung lagi. Puncaknya, terjadilah kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta. Aksi penjarahan, pembakaran, dan perusakan oleh massa terjadi secara tidak terkendali. Di lain pihak, ribuan mahasiswa segera berduyun-duyun mendatangi gedung DPR/MPR dan sekaligus mendudukinya. Menyikapi hal itu, para pimpinan MPR meminta agar presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diridari jabatannya.
Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Gedung Istana Merdeka Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian,berakhirlah masa kekuasaan Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.
5.      PEMILU INDONESIA MASA ORDE BARU
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
 Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
 Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
BAB III. ORDE REVORMASI

1.     Latar belakang

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
2.       PERISTIWA AKSI MASSA
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.

Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
3.      KEHIDUPAN POLITIK EKONOMI MASA ORDE REFORMASI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.

1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
2. Kerja Sama Luar Negeri
3. Pembangunan Nasional

Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu,
1) Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
2) Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
4.      PEMULU ZAMAN ORDE REFORMASI
  Salah satu perubahan spektakuler yang terjadi di sepanjang titian era reformasi sejak tahun 1998 hingga saat ini adalah munculnya sistem multi-partai dalam dinamika kehidupan politik bangsa Indonesia. Sistem multi-partai tidak saja telah menyebabkan perubahan besar pada sistem ketatanegaraan dan perpolitikan nasional, tapi juga telah berimbas pada dinamika prilaku dan partisipasi politik masyarakat serta pada pola hubungan kelembagaan politik di tingkat daerah.
            Di Sulawesi Tenggara, perubahan dinamika prilaku dan partisipasi politik masyarakat terjadi sejak munculnya puluhan partai baru di jelang Pemilu 1999. Trend keluar-masuk partai atau gonta-ganti pengurus mendadak menjadi fenomena umum yang menandai dimulainya babak baru kehidupan demokrasi di daerah ini. Banyak elit birokrat dan tokoh masyarakat yang semula dikenal sebagai tokoh atau pengurus teras partai Golkar[1], tiba-tiba dikabarkan pindah ke partai lain dan tampil sebagai calon anggota legislative  pada pemilu dipercepat tahun 1999. Di tingkat provinsi, diantara tokoh atau dedengkot Golkar yang pindah ke partai lain adalah Laode Kaimoeddin, Yacub Silondae, Andry Djufri, Abd. Razak Porosi, Husen Efendi, Andi Pangerang Umar, Baiduri Muchram, Adriah Saleh dan lain-lain.
            Laode Kaimoeddin (mantan gubernur Sultra) pindah ke dan menjabat sebagai ketua DPW PPPP Sultra. Dalam pemilu 2004 lalu, Kaimoeddin mendaftar sebagai calon anggota DPR RI (urutan ke-2) mewakili daerah pemilihan Sultra. Namun, lebih karena faktor urutan, pada pemilu 1999 tersebut, Kaimoeddin tidak berhasil melenggang ke senayan. Kursi PPP Sultra di DPR Ri diduduki oleh Habil Marati sebagai caleg nomor urut 1 pada pemilu 1999 itu.
            Menyusul Laode Kaimoeddin, Husen Efendi (mantan wagub Sultra) juga hengkang ke dan menduduki salah satu posisi wakil ketua di DPW PPP Sultra. Pada Pemilu 2004 lalu, Husen Efendi maju menjadi salah satu caleg PPP Sultra di daerah pemilihan kota Kendari dan Konsel dan berhasil duduk menjadi anggota DPRD Sultra periode 2004 – 2009. Sebagaimana halnya Husen Efendi, Andi Pangerang Umar terpaksa meninggalkan golkar dan hengkang ke PPP sebagai salah satu unsur wakil ketua. Pada pemilu 2004 lalu, mantan Bupati Kolaka itu berhasil duduk di DPRD Provinsi Sultra mewakili daerah pemilihan Kolaka.
            Yacub Silondae (mantan wakil gubernur Sultra di era La Ode Hadi), meskipun sejak awal tercatat pernah menjadi anggota PNI (Partai Nasional Indonesia) dibawah pimpinan Bung Karno yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya PDI, namun pada masa orde baru, salah satu tokoh pendiri Sultra itu bergabung ke dalam dan lebih dikenal sebagai orang Golkar. Setelah terbentuknya PDI-P hasil Munas PDI di Surabaya, Yacub Silondae kembali bergabung di barisan politik pro-Soekarno dengan masuk menjadi ketua dewan penasihat PDI-P Sultra pimpinan Laode Rifai Pedansa. Pada pemilu 1999 dan sesudahnya, karena faktor usia dan telah kenyang berpetualang di Senayan sebagai anggota DPR RI dua periode, Yacub Silondae enggan kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
            Langkah Yacub Silondae yang hengkang ke PDI-P ini juga diikuti oleh Abd. Razak Porosi pada tahun 2003. Meski tidak masuk dalam jajaran pengurus harian,  namun mantan Bupati Kendari periode 1993 – 1998 dan periode 1998 – 2003 itu, direkomendir oleh DPW  PDI-Sultra untuk menjadi caleg DPR RI urutan satu mewakili daerah pemilihan Sultra. Sesuai hasil pemilu 2004 lalu, Razak Porosi berhasil melenggang ke Senayan dan duduk sebagai anggota DPR RI.
            Andry Djufrie (mantan Bupati Kendari periode 1983 – 1988) pindah ke dan menjadi Ketua DPW PAN Sultra yang pertama. Hasil pemilu legislatif tahun 1999, Andry Djufrie menjadi satu-satunya pengurus PAN yang duduk di DPRD provinsi Sultra mewakili daerah pemilihan Kendari. Sebelumnya, Andry Djufri dikenal sebagai salah
satu tokoh Golkar Sultra yang banyak berjasa dalam membesarkan Golkar di seluruh wilayah Kabupaten Kendari. 
  Selain dialami oleh Golkar,  trend pengurus partai lama yang pindah ke partai baru juga dialami oleh PPP. Ahmad Aldjufrie yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu kader PPP Sultra, mendadak pindah memimpin Partai Bulan Bintang dengan merekrut para mantan kader Masyumi se-Sultra, termasuk (Alm) La Ode Manaarfa dan Baso Suamir (pimpinan pesantren Ummushabri Kendari). Selain itu, beberapa kader tulen PPP lainnya juga dikabarkan pindah dan memimpin partai baru, seperti Jabal Noer Salego (mantan Sekretaris Wilayah PPP) dan Abdul Djalil Akrim (mantan ketua DPC PPP Kendari), dikabarkan pindah ke partai Masyum
  Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik telah membuka akses vertikal bagi masyarakat luas untuk terlibat langsung dalam proses-proses kompetisi politik praktis. Sangat banyak warga masyarakat yang awalnya dikenal ”tidak mengenal dunia politik”,  mendadak tampil sebagai kontestan pemilu. Seiring dengan temperatur reformasi yang masih panas pasca tumbangnya orde baru tahun 1998, dinamika politik di daerah ini turut diwarnai oleh fenomena munculnya ”orang-orang baru” dalam blantika politik supra struktur.
“Orang-orang baru” yang muncul sebagai calon anggota legislatif (caleg), sebagian adalah mantan pengurus/anggota partai Golkar, PDI dan PPP yang selama ini gagal menggapai posisi karir di legislatif, lalu pindah menjadi pimpinan atau pengurus di partai baru. Sebagian lainnya adalah mantan-mantan birokrat yang telah pensiun, para aktifis OKP dan LSM, para pengusaha, para kepala desa dan mantan kepala desa, dan bahkan para ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak pernah mengenal partai politik. Maka bila pada pemilu 1997 lalu, ruang-ruang publik utama di sekitar rumah-rumah penduduk hanya dipenuhi oleh corak warna kuning (golkar), merah (PDI) dan hijau (PPP), saat menjelang pemilu 1999, sebanyak 48 variasi warna bendera dan papan nama partai tiba-tiba berjejer acak memenuhi pekarangan dan pagar rumah penduduk serta di ruang-ruang publik pada umumnya, termasuk di pinggir jalan trotoar, di atas pohon, dan di tiang listrik. Gejala ini
Dinamika politik menjelang event Pemilu 1999 pun ”seolah” menjadi ajang pesta pora yang menandai dimulainya babak kemerdekaan berfikir, bertindak, berbicara dan berpolitik di kalangan masyarakat kebanyakan. Pada tingkat desa, tokoh-tokoh masyarakat dan aparat pemerintah desa yang sebelumnya dikenal serba “kuning”, tiba-tiba menggeliat dan mulai berani menampakkan warna-warni atribut selain merah, hijau, biru, coklat, putih, hitam dan kombinasi warna lainnya.
Meski demikian, mungkin lebih karena faktor ketokohan dan kristalisasi warnapolitik yang sudah berkarat selama 7 pemilu sebelumnya, para caleg yang diusung oleh partai Golkar, tetap mendominasi perolehan suara dalam Pemilu 1999 itu. Di berbagai daerah di Sulawesi Tenggara, partai-partai baru yang muncul belakangan, belum bisa menyaingi popularitas dan agregasi politik partai “kuning” dan berlambang pohon beringin itu. Kursi keanggotaan DPRD di tingkat provinsi dan di seluruh kabupaten/kota se-Sultra, sekitar 60 hingga 75 % masih dikuasai oleh kader-kader Golkar. Urutan kedua dan ketiga dalam perolehan kursi masih ditempati oleh dua partai lama lainnya, yakni PDI-P dan PPP, sedangkan sisanya dibagi hampir merata oleh beberapa partai baru yang lebih populer[2], seperti PAN, PBB, PKB, PNU, PDI (pimpinan Budiharjono) dan PK (partai Keadilan). Dalam struktur keanggotaan DPRD se-Sultra hasil Pemilu 1999 itu, sebanyak 40 partai baru lainnya, tidak memperoleh bagian kursi legislatif. Partai-partai baru yang mendapat bagian kursi legislative, kebanyakan membentuk fraksi Gabungan di DPRD, seperti Fraksi Reformasi di DPRD Kota Kendari dan Fraksi Madani di DPRD Kabupaten Kendari. Selain fraksi Golkar dan Fraksi Gabungan, keanggotaan DPRD privnisi dan kabupaten/kota se-Sultra juga selalu ditandai oleh fraksi TNI/Pol
 Menjelang Pemilu 2004, trend multi-partai dalam dinamika politik Nasional ditandai oleh fenomena perpecahan internal pada beberapa partai besar serta modifikasi (pergantian) nama partai-partai baru. Perpecahan internal partai antara lain terjadi di partai Golkar, PDI-P, PPP dan PKB. Salah satu organisasi onderbouw Golkar yang cukup signifikan, yakni Pemuda Pancasila, mendadak keluar dari Golkar dan mendirikan partai baru bernama partai Patriot Pancasila. Selain itu, beberapa kader nasional Golkar, juga hengkang dari habitat ”beringin”, lalu mendirikan partai baru bertajuk Partai Karya Peduli Bangsa (PKBP) dan Partai Demokrat.
Perpecahan internal di PDI-P terlihat setelah beberapa kader ”merah” yang selama ini dikenal berdiri di belakang gerbong politik ”Soekarnoisme dan Marhaenisme”, mendadak hengkang dari PDI-P dan mendirikan partai baru, termasuk Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), PNI Marhaenis dan Partai Pelopor. Di tubuh PPP, beberapa kader potensial partai berlambang ka’bah ini, juga mendadak hengkang dan membentuk partai Bintang Reformasi (PBR) dibawah pimpinan K.H. Zainuddin.MZ. Sedangkan di tubuh PKB, perseteruan antara Gus Dur dan Mathori Abdul Djalil, menyebabkan partai kaum Nahdliyin ini pecah setelah Mathori Abdul Djalil membentuk partai baru bernama Partai Kebangkitan Demokrat (PKD), meskipun partai terakhir ini akhirnya tidak ikut Pemulu 2004 karena tidak lolos dalam proses verifikasi parpol baru.
Modifikasi atau pergantian nama terjadi pada beberapa partai baru untuk menyesuaikan diri dengan undang-undang parpol yang baru, seperti Partai Keadilan berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai Nahdlatul Ummat (PNU) berubah nama menjadi Partai Persatuan Nahdlatul Ummat Indonesia (PPNUI), Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) berubah wujud menjadsi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), partai Indonesia Baru (PIB) menjadi Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) dan lain-laiN
 Menjelang pemilu 2004, partai yang terdaftar sebagai organisasi peserta Pemilu (OPP) cenderung berkurang, yakni tinggal 24 Parpol. Perpecahan internal dan modifikasi partai di tingkat nasional pada moment menjelang Pemilu 2004 ini, juga berdampak pada dinamika kepengurusan partai di Sultra. Di daerah ini, fenomena gonta ganti partai dan pengurus, menjadi hal yang dianggal lazim terjadi.
Meski warna-warni atribut partai tidak lagi se-ramai momentum menjelang pemilu 1999, namun dinamika politik menjelang pemilu 2004, justru lebih hangat dan tampak lebih dinamis. Hal ini terutama disebabkan karena beberapa parpol se-lain Golkar yang ”gagal” meraih kursi signifikan di lembaga legislatif daerah pada pemilu 1999, mulai melakukan konsolidasi besar-besaran, antara lain dengan cara merekrut pengurus baru dari kalangan elit birokrat dan tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh, serta memperbaiki struktur mesin politik partai hingga ke tingkat paling bawah di pelosok-pelosok desa. Selain memperkuat posisi ”orang-orang baru”, beberapa parpol baru juga tetap merekrut ”orang-orang lama” yang dipandang masih memiliki kharisma di tengah masyarakat. Konsolidasi partai besar-besaran antara lain terjadi di tubuh PAN, PPP danPKS
Terpilihnya Nur Alam sebagai ketua DPW PAN Sultra menggantikan Andry Djufri, telah memacu gerak laju partai ini dalam menghadapi pemilu 2004. Dengan melakukan penguatan kapasitas kelembagaan internal, termasuk dalam memobilisasi gerakan para caleg dan mengoptimalkan fungsi alat-alat peraga kampanye, Nur Alam akhirnya berhasil mendokrak perolehan kursi PAN di DPRD propinsi Sultra dari semula yang hanya sempat meraih satu kursi, pada pasca pemilu 2004, meningkat tajam menjadi 6 kursi. Peningkatan perolehan jumlah kursi yang di alami oleh PAN Sultra, tergolong sebagai prestasi paling spektakuler dalam riwayat mobilitas partai-partai di daerah inI
Peningkatan jumlah perolehan kursi PAN juga terjadi di DPRD kabupaten/kota se-Sultra yang semula rata-rata hanya berhasil meraih 1 kursi, saat ini meningkat menjadi 2 hingga 5 kursi. Beberapa pimpinan DPD PAN kabupaten/kota bahkan telah berhasil posisi sebagai salah satu unsur pimpinan DPRD, seperti ketua DPD PAN Kolaka menjadi wakil ketua DPRD Kolaka, ketua DPD PAN Konsel menjadi wakil ketua DPRD Konsel, ketua DPD PAN Bau-Bau menjadi wakil ketua DPRD Bau-Bau dan ketua DPD PAN Muna menjadi wakil ketua DPRD Muna.
  Prestasi PAN dalam mendongkrak perolehan kursi di legislatif daerah, juga diikuti oleh PPP. Terpilihnya La Ode Kaimoeddin (mantan Gubernur Sultra) sebagai ketua DPW PPP Sultra menggantikan Andi Wahid, membuat partai tua ini kembali bergeliat untuk melakukan konsolidasi pengurus dan mesin partai di tingkat bawah. Dengan bantuan fasilitas dari Habil Marati (pengurus DPP PPP), La Ode Kaimoeddin akhirnya dapat mendongkrak perolehan kursi partai ini di DPRD provinsi dari semula (pada pemilu 1999) yang hanya sempat meraih 3 kursi, pada pasca pemilu 2004 lalu, meningkat menjadi 5 kursi.
    Selain ditingkat DPRD provinsi Sultra, peningkatan perolehan kursi PPP juga berlangsung di daerah-daerah kabupaten/kota se-Sultra. Beberapa pimpinan DPC PPP kabupaten/kota juga berhasil menduduki posisi sebagai salah satu unsur pimpinan DPRD dan bahkan ada diantaranya yang menyandang posisi sebagai kepala daerah, seperti ketua DPC PPP Kolaka dijabat oleh Bupati Kolaka, ketua DPC PPP Bau-Bau dijabat oleh walikota Bau-Bau dan wakil ketua DPC PPP Wakatobi dijabat oleh wakil Bupati Wakatobi.
   Menyusul PAN dan PPP, konsolidasi internal besar-besaran juga dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Partai yang diurus dan dipimpin oleh aktifis muda Islam ini, berhasil mengorganisir kekuatan potensi basis Islam pada segmen generasi muda dan tokoh-tokoh Islam fanatik. Hasilnya, bila pada pemilu 1999 partai ini (masih bernama partai Keadilan) tidak sempat meraih satu pun kursi di DPRD provinsi, maka pada pasca pemilu 2004, partai besutan Hidayat Nur Wahid ini berhasil mendudukkan 4 orang anggotanya di DPRD provinsi Sultra. Keberhasilan PKS meraih kursi signifikan di DPRD provinsi Sultra ini, juga diikuti oleh keberhasilan PKS dalam merebut  2 hingga 4 kursi di DPRD kabupaten/kota se-Sultra.
  Selain beberapa partai besar di atas, konsolidasi partai besar-besaran juga digelar oleh Partai Bulan Bintang (PBB) pada momentum menjelang Pemulu 2004 lalu. Setelah berhasil merebut 2 kursi legislatif di DPRD Provinsi, PBB juga berhasil merebut 2 hingga 6 kursi di DPRD Kabupaten/kota se-Sultra. Perolehan kursi PBB yang paling signifikan terjadi di kota Bau-Bau. Di Daerah ini, PBB sempat meraih 6 kursi, dan bahkan ketua DPC PBB Bau-Bau, Maasra Manaarfa, sempat meraih jabatan sebagai ketua DPRD Kota Bau-Bau. Selain di Bau-Bau, PBB juga berkibar di kabupaten Konawe dengan berhasil meraih 4 kursi legislatif setempat. Ketua DPC PBB kabupaten Konawe bahkan sempat bertarung sebagai salah satu calon wakil Bupati dalam event pilkada Konawe awal tahun 2008 lalu.Yang kemudian tergolong cukup fenomenal dalam dinamika politik Sultra menjelang dan pasca Pemilu 2004 lalu adalah bahwa dari sekian banyak partai baru di Sultra yang secara nasional termasuk dalam kategori partai gurem, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) merupakan satu-satunya partai baru yang cukup dinamis dan berhasil meraih kursi signifikan, baik di DPRD provinsi, maupun di DPRD kabupaten/kota se-Sultra. Di DPRD provinsi Sultra, PNBK berhasil merebut 3 kursi legislatif. Pada tingkat DPRD kabupaten/kota se-Sultra, prestasi terbaik PNBK terjadi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara. Di Kabupaten Konawe, selain berhasil meraih 3 kursi legislatif, ketua DPC PNBK Konawe, Umar Tjong, juga berhasil menduduki kursi wakil ketua DPRD. Di Kabupaten Kolaka Utara, ketua DPC PNBK, Rusda Mahmud, setempat bahkan berhasil merebut posisi Bupati Kolaka Utara.
DAFTAR ISI
BAB I. PERISTIWA G 30 S/PKI 1965
1.      LATAR BELAKANG TERJADINYA PERISTIWA G 30 S/PKI 1965
2.      PERISTIWA G 30 S/PKI 1965
3.      PENUMPASAN G 30 S/PKI 1965
BAB II. MASA ORDE BARU
1.      LATAR BELAKANG ORDE BARU
2.      PERISTIWA AKSI MAHASISWA
3.      SUPER SEMAR
4.      KEHIDUPAN POLITIK DAN EKONOMI ZAMAN ORDE BARU
5.      PEMILU ZAMAN ORDE BARU
BAB III. ORDE REFORMASI
1.      LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE REFORMASI
2.      PERISTIWA AKSI MAHASISWA
3.      KEHIDUPAN POLITIK EKOMOMI MASA ORDE REFORMASI
4.      PEMILU ZAMAN ORDE REFORMASI